MAKALAH GENETIKA
PERSILANGAN MONOHIBRID
Drosophila sp
Disusun oleh:
NAMA : LASINRANG ADITIA
NIM : 60300112034
KELAS : BIOLOGI A
TUGAS : PRAKTIKUM GENETIKA
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan kita hidayah dan rahmat-Nya agar senantiasa
dekat dengan diri-Nya dalam keadaan sehat
wal’afiat. Serta salam dan shalawat kita kirimkan kepada Muhammad SAW,
dimana nabi yang membawa ummat-Nya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan telah
menjadi suri tauladan bagi ummat-Nya.
Dalam makalah ini penulis akan membahas
masalah mengenai ” PERSILANGAN MONOHIBRID Drosophila sp “
karena sebagai seorang mahasiswa saintist maka kita perlu mengetahui hal ini.
Penulis sangat mengharapkan agar pembaca
dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan-Nya tentang PERSILANGAN MONOHIBRID
Drosophila sp. Saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata tiada gading yang tak retak, begitu juga
dengan manusia sendiri.
Samata-Gowa, 02 Desember 2014
Kelompok 1
Pada Drosophila
melanogaster (D. melanogaster) selain dari keadaan normal (N) ditemukan ada
beberapa strain yang merupakan hasil mutasi dan menghasilkan mutan-mutan yang
berbeda dari keadaan normalnya. Perbedaan tersebut terutama terkait dengan
warna mata, bentuk mata, dan bentuk sayap. Hal ini sesuai yang dikatakan Zarzen
(2004) yang menyatakan beberapa jenis mutasi pada Drosophila melanogaster yang
dapat terlihat dari fenotipenya adalah mutasi warna mata, bentuk mata, bentuk
sayap dan warna tubuh. Berdasarkan hal tersebut, maka dikenal berbagai strain
(mutan) dari Drosophila melanogaster antara lain: w (white), cl (clot), ca
(claret), se (sepia), eym (eyemissing), cu (curled), tx (taxi), m (miniature,
dp (dumpy), dan Vg (vestigial).
Perbedaan-perbedaan
fenotif yang nampak tersebut tentunya disebabkan karena telah terjadi perubahan
pada genotif (terjadi variasi genotif) dengan keadaan normalnya, yang oleh King
(1985) disebut sebagai perbedaan ciri instrasepesifik yang selanjutnya dikenal
dengan sebutan strain. Secara rasional perbedaanperbedaanpada genotif paling
tidak selain memberikan dampak perbedaan
pada fenotif akan dapat juga menyebabkan beberapa perbedaan dalam hal
fisiologik. Seperti dikatakan oleh Peterson (dalam Fowler, 1973) bahwa
mekanisme penggunaan sperma untuk pembuahan sel telur (fertilisasi) tidak
selalu sama pada semuajenis atau strain Drosophila melano gaster. Demikian juga
Fowler (1973) melaporkan bahwa jumlah sperma yang ditrasfer Drosophila jantan berkaitan
dengan perbedaan strain. Dengan demikian macam strain akan terkait dengan
jumlah keturunan. Hal ini diperkuat juga dengan hasil temuan penelitian Muliati
(2000) yang meyimpulkan pada persilangan antar strain (white, ebony, dan
normal) terdapat perbedaan jumlah turunan. Apakah demikian adanya pada
strain-strain yang lain, maka tentunya ini perlu dilakukan penelitian lanjutan karena
dinyatakan juga oleh Muliati (2000) bahwa dari berbagai pustaka belum terungkap
semua informasi mengenai pengaruh strain terhadap jumlah turunan.
Sementara itu terkait dengan umur
seksual betina untuk kawin pada Drosophila melanogaster diperoleh informasi
yang bervariasi. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan umur berapa Drosophila
melanogaster betina mencapai kedewasaan seksual. Shorrocks (1972) mengemukakan
bahwa D. melanogaster betina akan mencapai kedewasaan seksual pada usia 8 jam
setelah menetas. Di lain pihak Manning (dalam Muliati, 2000) menyebutkan bahwa
lalat ini mengalami kedewasaan seksual (sebagian kecil) pada waktu berumur 24
jam, dan sebagian besar akan matang pada umur 48 jam setelah menetas. Individu
betina yang baru menetas biasanya menolak kawin dengan individu jantan dan
belum mencapai aktivitas maksimum sampai berumur 48 jam (Fowler, 1973). Anonim
(2006) menyatakan perkawinan pertama lalat buah betina terjadi 12 jam setelah ”emergence”
(kemunculan atau menetas). Selain itu juga dikatakan oleh King (dalam Fowler,
1973) bahwa jumlah telur pada Drosophila melanogaster antara lain dipengaruhi
oleh faktor umur betina dan genotif (strain). Merujuk pada pernyataan King
tersebut bahwa ada keterkaitan antara umur betina dan macam strain dengan
jumlah turunan.
Fenomena tersebut mengindikasikan
bahwa strain N yang normal yang tidak mengalami mutasi memiliki pengaruh yang
lebih baik terhadap jumlah turunan dibandingkan dengan strain Vg dan tx yang
telah mengalami mutasi. Perubahan karena mutasi tersebut akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada genotif pada kromosom. Sementara kromosom pada
Drosophila melanogaster berpengaruh terhadap masalah perkelaminan karena
ekspresi kelamin pada Drosophila melanogaster tergantung dari perimbangan
antara kromomosom X dan autosom (Gardner, 1991; Pai, 1992; Corebima, 2004). Hal
ini diduga dapat menyebabkan atau mempengaruhi jumlah turunan yang dihasilkan,
karena jumlah turunan sangat terkait dengan ekspresi kelamin. Selain itu King
(dalam Fowler, 1973) menyatakan bahwa jumlah telur pada Drosophila melanogaster
salah satunya dipengaruhi oleh genotif. Ini dapat diinterpretasikan bahwa
genotif antara strain Vg dan tx yang telah bermutasi tentunya telah berbeda
dengan strain N yang normal dan inilah diduga menyebabkan perbedaan pengaruhnya
terhadap jumlah turunan. Disisi lain antara strain Vg dan tx yang samasama telah
mengalami mutasi menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruhnya terhadap jumlah
keturunan. Faktor lain seperti penggunaan sperma oleh individu betina dapat
berpengaruh terhadap jumlah turunan, seperti yang dinyatakan Petterson (dalam
Fowler, 1973) bahwa penggunaan sperma pada Drosophila melanogaster tidak
selamanya sama menggunakan sperma yang ada pada reseptakulum seminalis terlebih
dahulu dan baru kemudian yang ada di spermateka, tetapi terjadi
perbedaan-perbedaan untuk berbagai spesies (strain). Faktor ini juga yang diduga
menyebabkan pada strain Vg dan tx yang walaupun secara statistik sama pengaruhnya
terhadap jumlah turunan, namun secara matematik data menunjukkan jumlah turunan
yang dihasilkan oleh strain tx lebih banyak dari Vg.
Persilangan monohibrid didasarkan pada
percobaan yang dilakukan oleh Gregor Johann Mendel, dia melakukan percobaan
untuk mengetahui hasil persilangan dan kemungkinan keturunan yang diperoleh
dari dua individu yang disilangkan, kemudian dia melakukan percobaannya itu
dengan tanaman ercis (kapri) dalam bahasa latin disebut Pisum sativum dikarenakan
terdapat sifat-sifat kontras pada tanaman ercis yang nampak sehingga memudahkan
Mendel dalam penelitiannya, seperti bentuk biji yang bulat atau berlekuk,
ukuran tanaman yang tinggi atau rendah, kemudian perbedaan warna pada bunga dan
biji dan lain sebagainya.
Mendel menggunakan
galur murni, yakni jenis dari generasi ke generasi yang berikutnya menghasilkan
sifat yang sama, seperti tanaman ercis yang berbiji bulat selamanya
menghasilkan keturunan yang berbiji bulat, oleh karenanya memiliki genotip BB,
sedangkan tanaman yang berbiji keriput selamanya akan menghasilkan
keturunan yang berbiji keriput memiliki genotip bb. Galur murni selamanya
merupakan jenis yang homozigotik. Dan generasi F1 yang merupakan hibrida dari
kedua sifat tadi, merupakan keturunan yang heterozigotik. Walaupun fenotipnya
sama dengan generasi parental yang berbiji bulat, namun genotipnya berbeda.
Maka generasi F2 yang diperoleh dari persilangan F1 akan bersegregasi menjadi berbiji
bulat dan berbiji keriput dengan perbandingan 3:1. Muncul fenotip yang berbiji
keriput pada generasi F2 dimana pada generasi sebelumnya seperti hilang, karena
segresi dari pasangan gen Bb ke dalam gamet-gametnya. Kemudian gamet-gamet itu
bergabung kembali menjadi gen yang resesif (bb) pada F2.
Pada kejadian diatas dikenal hukum Mendel 1 atau
sering disebut dengan hukum segregasi yang berbunyi “ pada pembentukan gamet,
gen yang merupakan pasangan akan disegregasikan ke dalam dua sel anak” (Tjan
Kiau Nio, 1991: 32)
Persilangan dengan menggunakan satu sifat beda ini
disebut dengan persilangan monohibrid. Pada persilangan ini dihasilkan 4
kombinasi pada keturunan dengan perbandingan 3:1 . kemudian dari persilangan
ini juga dapat diketahui bahwa pada suatu individu bisa mempunyai fenotip
sama ( misalnya tanaman berbiji keriput) akan tetapi mempunyai genotip yang
berbeda ( misalnya Aa dengan AA ), (Suryo, 1990: 91).
DAFTAR PUSTAKA
Indayati, N. 1999. Pengaruh Umur
Betina dan Macam Strain Jantan Terhadap Keberhasilan
Kawin Kembali Individu Betina D. melanogaster. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Malang: FPMIPA IKIP
Malang.
Muliati, L. 2000. Pengaruh Strain dan
Umur Jantan Terhadap Jumlah Turunan Jantan
dan Betina Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas MIPA-Universitas Negeri
Malang.
Anuranjan, A. 2004. Sex Determining
Signal in Drosophila melanogaster. Journal
of Genetics, (Online), Vol. 83, No. 2, (http://www.ias.ac.in/jgenet/ Vol83No2/jgaug2004-647.pdf,
diakses 21 Desember 2009).
No comments:
Post a Comment