## MOHON MENGKLIK SALAH SATU KONTEN IKLAN YANG MUNCUL DI BLOG KAMI SEBAGAI BENTUK DONASI PENGUJUNG YANG AKAN DIGUNAKAN UNTUK MAINTENANCE BLOG KAMI ##

Saturday 5 August 2017

MAKALAH GENETIKA
PERSILANGAN MONOHIBRID
Drosophila sp
 









Disusun oleh:

      NAMA                 :    LASINRANG ADITIA
      NIM                      :    60300112034
      KELAS                :    BIOLOGI A
      TUGAS                :    PRAKTIKUM GENETIKA

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita hidayah dan rahmat-Nya agar senantiasa dekat dengan diri-Nya dalam keadaan sehat  wal’afiat. Serta salam dan shalawat kita kirimkan kepada Muhammad SAW, dimana nabi yang membawa ummat-Nya dari zaman kegelapan  menuju zaman yang terang benderang dan telah menjadi suri tauladan bagi ummat-Nya.
Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah mengenai ” PERSILANGAN MONOHIBRID Drosophila sp “ karena sebagai seorang mahasiswa saintist maka kita perlu mengetahui hal ini.      
Penulis sangat mengharapkan agar pembaca dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan-Nya tentang PERSILANGAN MONOHIBRID Drosophila sp. Saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan manusia sendiri.


                                                                             Samata-Gowa, 02 Desember 2014


                                                                                              Kelompok 1
                                                                       


                                                               
            Pada Drosophila melanogaster (D. melanogaster) selain dari keadaan normal (N) ditemukan ada beberapa strain yang merupakan hasil mutasi dan menghasilkan mutan-mutan yang berbeda dari keadaan normalnya. Perbedaan tersebut terutama terkait dengan warna mata, bentuk mata, dan bentuk sayap. Hal ini sesuai yang dikatakan Zarzen (2004) yang menyatakan beberapa jenis mutasi pada Drosophila melanogaster yang dapat terlihat dari fenotipenya adalah mutasi warna mata, bentuk mata, bentuk sayap dan warna tubuh. Berdasarkan hal tersebut, maka dikenal berbagai strain (mutan) dari Drosophila melanogaster antara lain: w (white), cl (clot), ca (claret), se (sepia), eym (eyemissing), cu (curled), tx (taxi), m (miniature, dp (dumpy), dan Vg (vestigial).
            Perbedaan-perbedaan fenotif yang nampak tersebut tentunya disebabkan karena telah terjadi perubahan pada genotif (terjadi variasi genotif) dengan keadaan normalnya, yang oleh King (1985) disebut sebagai perbedaan ciri instrasepesifik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan strain. Secara rasional perbedaanperbedaanpada genotif paling tidak selain memberikan dampak  perbedaan pada fenotif akan dapat juga menyebabkan beberapa perbedaan dalam hal fisiologik. Seperti dikatakan oleh Peterson (dalam Fowler, 1973) bahwa mekanisme penggunaan sperma untuk pembuahan sel telur (fertilisasi) tidak selalu sama pada semuajenis atau strain Drosophila melano gaster. Demikian juga Fowler (1973) melaporkan bahwa jumlah sperma yang ditrasfer Drosophila jantan berkaitan dengan perbedaan strain. Dengan demikian macam strain akan terkait dengan jumlah keturunan. Hal ini diperkuat juga dengan hasil temuan penelitian Muliati (2000) yang meyimpulkan pada persilangan antar strain (white, ebony, dan normal) terdapat perbedaan jumlah turunan. Apakah demikian adanya pada strain-strain yang lain, maka tentunya ini perlu dilakukan penelitian lanjutan karena dinyatakan juga oleh Muliati (2000) bahwa dari berbagai pustaka belum terungkap semua informasi mengenai pengaruh strain terhadap jumlah turunan.
            Sementara itu terkait dengan umur seksual betina untuk kawin pada Drosophila melanogaster diperoleh informasi yang bervariasi. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan umur berapa Drosophila melanogaster betina mencapai kedewasaan seksual. Shorrocks (1972) mengemukakan bahwa D. melanogaster betina akan mencapai kedewasaan seksual pada usia 8 jam setelah menetas. Di lain pihak Manning (dalam Muliati, 2000) menyebutkan bahwa lalat ini mengalami kedewasaan seksual (sebagian kecil) pada waktu berumur 24 jam, dan sebagian besar akan matang pada umur 48 jam setelah menetas. Individu betina yang baru menetas biasanya menolak kawin dengan individu jantan dan belum mencapai aktivitas maksimum sampai berumur 48 jam (Fowler, 1973). Anonim (2006) menyatakan perkawinan pertama lalat buah betina terjadi 12 jam setelah ”emergence” (kemunculan atau menetas). Selain itu juga dikatakan oleh King (dalam Fowler, 1973) bahwa jumlah telur pada Drosophila melanogaster antara lain dipengaruhi oleh faktor umur betina dan genotif (strain). Merujuk pada pernyataan King tersebut bahwa ada keterkaitan antara umur betina dan macam strain dengan jumlah turunan.
            Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa strain N yang normal yang tidak mengalami mutasi memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap jumlah turunan dibandingkan dengan strain Vg dan tx yang telah mengalami mutasi. Perubahan karena mutasi tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada genotif pada kromosom. Sementara kromosom pada Drosophila melanogaster berpengaruh terhadap masalah perkelaminan karena ekspresi kelamin pada Drosophila melanogaster tergantung dari perimbangan antara kromomosom X dan autosom (Gardner, 1991; Pai, 1992; Corebima, 2004). Hal ini diduga dapat menyebabkan atau mempengaruhi jumlah turunan yang dihasilkan, karena jumlah turunan sangat terkait dengan ekspresi kelamin. Selain itu King (dalam Fowler, 1973) menyatakan bahwa jumlah telur pada Drosophila melanogaster salah satunya dipengaruhi oleh genotif. Ini dapat diinterpretasikan bahwa genotif antara strain Vg dan tx yang telah bermutasi tentunya telah berbeda dengan strain N yang normal dan inilah diduga menyebabkan perbedaan pengaruhnya terhadap jumlah turunan. Disisi lain antara strain Vg dan tx yang samasama telah mengalami mutasi menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruhnya terhadap jumlah keturunan. Faktor lain seperti penggunaan sperma oleh individu betina dapat berpengaruh terhadap jumlah turunan, seperti yang dinyatakan Petterson (dalam Fowler, 1973) bahwa penggunaan sperma pada Drosophila melanogaster tidak selamanya sama menggunakan sperma yang ada pada reseptakulum seminalis terlebih dahulu dan baru kemudian yang ada di spermateka, tetapi terjadi perbedaan-perbedaan untuk berbagai spesies (strain). Faktor ini juga yang diduga menyebabkan pada strain Vg dan tx yang walaupun secara statistik sama pengaruhnya terhadap jumlah turunan, namun secara matematik data menunjukkan jumlah turunan yang dihasilkan oleh strain tx lebih banyak dari Vg.
            Persilangan monohibrid didasarkan pada percobaan yang dilakukan oleh Gregor Johann Mendel, dia melakukan percobaan untuk mengetahui hasil persilangan dan kemungkinan keturunan yang diperoleh dari dua individu yang disilangkan, kemudian dia melakukan percobaannya itu dengan tanaman ercis (kapri) dalam bahasa latin disebut Pisum sativum dikarenakan terdapat sifat-sifat kontras pada tanaman ercis yang nampak sehingga memudahkan Mendel dalam penelitiannya, seperti bentuk biji yang bulat atau berlekuk, ukuran tanaman yang tinggi atau rendah, kemudian perbedaan warna pada bunga dan biji dan lain sebagainya.
      Mendel menggunakan galur murni, yakni jenis dari generasi ke generasi yang berikutnya menghasilkan sifat yang sama, seperti tanaman ercis yang berbiji bulat selamanya menghasilkan keturunan yang berbiji bulat, oleh karenanya memiliki genotip BB, sedangkan tanaman yang berbiji keriput  selamanya akan menghasilkan keturunan yang berbiji keriput memiliki genotip bb. Galur murni selamanya merupakan jenis yang homozigotik. Dan generasi F1 yang merupakan hibrida dari kedua sifat tadi, merupakan keturunan yang heterozigotik. Walaupun fenotipnya sama dengan generasi parental yang berbiji bulat, namun genotipnya berbeda. Maka generasi F2 yang diperoleh dari persilangan F1 akan bersegregasi menjadi berbiji bulat dan berbiji keriput dengan perbandingan 3:1. Muncul fenotip yang berbiji keriput pada generasi F2 dimana pada generasi sebelumnya seperti hilang, karena segresi dari pasangan gen Bb ke dalam gamet-gametnya. Kemudian gamet-gamet itu bergabung kembali menjadi gen yang resesif (bb) pada F2.
Pada kejadian diatas dikenal hukum Mendel 1 atau sering disebut dengan hukum segregasi yang berbunyi “ pada pembentukan gamet, gen yang merupakan pasangan akan disegregasikan ke dalam dua sel anak” (Tjan Kiau Nio, 1991: 32)
Persilangan dengan menggunakan satu sifat beda ini disebut dengan persilangan monohibrid. Pada persilangan ini dihasilkan 4 kombinasi pada keturunan dengan perbandingan 3:1 . kemudian dari persilangan ini juga dapat diketahui bahwa pada suatu individu bisa mempunyai  fenotip sama ( misalnya tanaman berbiji keriput) akan tetapi mempunyai genotip yang berbeda ( misalnya Aa dengan AA ), (Suryo, 1990: 91).

DAFTAR PUSTAKA
Indayati, N. 1999. Pengaruh Umur Betina dan Macam Strain Jantan Terhadap     Keberhasilan Kawin Kembali Individu Betina D. melanogaster. Skripsi.      Tidak Diterbitkan. Malang: FPMIPA IKIP Malang.

Muliati, L. 2000. Pengaruh Strain dan Umur Jantan Terhadap Jumlah Turunan     Jantan dan Betina Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan.         Malang: Fakultas MIPA-Universitas Negeri Malang.


Anuranjan, A. 2004. Sex Determining Signal in Drosophila melanogaster. Journal of Genetics, (Online), Vol. 83, No. 2, (http://www.ias.ac.in/jgenet/    Vol83No2/jgaug2004-647.pdf, diakses 21 Desember 2009).

No comments: